Presiden
sebagai pemimpin tertinggi lembaga eksekutif dan kepala negara memiliki
peran utama menghasilkan kebijakan dalam gerak-majunya pembangunan.
Bertolak dari fungsi dan peranan Presiden, maka sudah sepatutnya jika
bangsa Indonesia dan pemangku kepentingan di bidang kelautan menghendaki
para Calon Presiden yang akan maju dalam pemilihan presiden tanggal 9
Juli 2014 nanti memiliki kemampuan dan pemahaman yang baik terhadap
bidang kelautan di Negara Kepulauan. Kebijakan pembangunan Indonesia ke
depan perlu memperhatikan dua hal penting, yaitu Pola Dasar dan Modal
Dasar Pembangunan.
Sebagai
negara kepulauan, Indonesia memerlukan kebijakan pembangunan dengan
Pola Dasar Pembangunan Negara Kepulauan. Karakteristik negara kepulauan
harus dijadikan landasan penyusunan pola dasar pembangunan di segala
bidang, utamanya ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Sementara itu, sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya adalah laut
beserta sumberdaya alam yang melimpah, maka laut harus dijadikan salah
satu modal dasar pembangunan. Arah kebijakan tersebut sejalan dengan
cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah negara maritim yang
maju, mandiri, dan kokoh seperti yang digariskan RPJPN 2005-2025. Dasar
pemikiran ini harus dapat dituangkan ke dalam kerangka kebijakan
kelautan nasional atau national ocean policy. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo selaku Ketua Harian Dewan Kelautan Indonesia di Jakarta, Senin (16/6).
Sharif menjelaskan, peran serta Dewan Kelautan Indonesia
(DEKIN) sebagai forum konsultasi bagi penetapan kebijakan umum di
bidang kelautan sangat diperlukan. DEKIN diketuai oleh Presiden serta
beranggotakan beberapa menteri dan pimpinan lembaga terkait.
Diantaranya, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pertahanan, Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Kepala BAPPENAS, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset
dan Teknologi, Kepala Kepolisian RI dan Kepala Staf TNI AL. “Termasuk
tim pakar, wakil perguruan tinggi, asosiasi dunia usaha, dan lembaga
swadaya masyarakat yang ditetapkan oleh Presiden atas usul Ketua Harian
DEKIN”, ungkap Sharif.
Sharif
menegaskan, tantangan Indonesia ke depan adalah bagaimana menggerakan
ekonomi berbasis laut melalui pembangunan kota-kota pantai dan
sentra-sentra produksi sebagai pusat-pusat pertumbuhan. Pembangunan
pusat pusat pertumbuhan ekonomi tersebut perlu diimbangi dengan
pengembangan konektivitas antar pulau, yaitu “sistem jaringan
transportasi kepulauan” untuk meningkatkan pemerataan distribusi barang
dan jasa yang lebih merata, murah, dan efisien. Selain itu, diperlukan
pula rehabilitasi wilayah pesisir yang kini makin rusak dan terlantarkan
untuk menjadi pusat - pusat kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan,
yaitu secara ekonomi produktif, namun tidak merusak lingkungan.
“Tantangan lain yang memerlukan perhatian dari kita semua adalah
pemerataan pembangunan di wilayah Timur, yaitu wilayah kepulauan yang
meliputi Papua, Maluku, dan Maluku Utara sebagai wilayah ekonomi mandiri
yang berbasis laut. Pembangunannya dilakukan melalui pemerataan
pembangunan infrastruktur, seperti transportasi, listrik, dan prasarana
lainnya untuk mendorong tumbuhnya investasi di wilayah tersebut”, tegas
Sharif.
Selain
itu menurut Sharif, para pelaku kegiatan ekonomi di laut seperti
Perhubungan Laut, Industri Maritim, Perikanan, Wisata Bahari, ESDM,
Bangunan Kelautan, dan Jasa Kelautan, harus semakin diakselerasi di
masa-masa mendatang. Para pengusaha dibidang kelautan dan
nelayan-nelayan kecil harus semakin diberdayakan, guna mendapat peluang
dan dorongan untuk penggerak perekonomian nasional dan menjadi pengusaha
dan pelaku ekonomi kelautan yang handal. Semua kekuatan tersebut akan
mendukung kekuatan maritim bangsa. Dimana, kekuatan maritim suatu negara
adalah seluruh kekuatan nasional (Ipolesosbudkum, Hankamneg, Iptek, dan
Pendidikan) yang dimiliki oleh suatu negara sebagai hasil pengelolaan
sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang didasarkan kepada kondisi
geografis teritorial sebagai negara kepulauan atau negara yang
berbatasan dengan laut. “Reorientasi pembangunan yang tepat akan
menjadikan NKRI menjadi Negara Maritim yang kuat, maju, mandiri dan
disegani dunia,” kata Sharif.
Kekayaan Laut
Sharif
menjelaskan, sejak ditandatanganinya perjanjian internasional dalam
Konvensi PBB Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS) pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika, masyarakat
internasional mengakui Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar yang
memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2, memiliki garis pantai
terpanjang ke-4 di dunia yaitu + 104.000 km, serta memiliki + 17.504
pulau. Di samping itu secara geografis Indonesia terletak diantara dua
benua, Asia dan Australia dan dua samudera, Hindia dan Pasifik yang
merupakan kawasan paling dinamis dalam percaturan dunia baik secara
ekonomis dan politis. “Keunikan letak geografis tersebut menempatkan
Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bidang kelautan,
dan sangat logis jika sumberdaya kelautan dijadikan tumpuan bagi
pembangunan ekonomi nasional,” ujarnya.
Selain posisi strategis, tambah Sharif, wilayah laut Indoneisa mulai dari laut teritorial, zone tambahan (contiguous zone), ZEE sampai dengan Landas Kontinen
(continental shelf) menyimpan kekayaan yang sangat berlimpah. Meski
demikian, diakui bahwa sampai saat ini kekayaan tersebut belum kita
kelola secara efektif dan maksimal. Ketika sumberdaya alam di wilayah
daratan justru semakin menipis, Indonesia patut bersyukur karena
memiliki wilayah laut yang luas dan belum tergarap secara baik. “Hal ini
mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki masa depan yang masih cukup
cerah untuk menjadi negara yang besar,” tegas Sharif.
Sharif
menegaskan, kekayaan sumberdaya kelautan yang sangat berlimpah belum
mendapatkan perhatian yang sangat serius. Terlebih lagi sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia, pembangunan kelautan belum menjadi
pengarusutama (mainstream) dalam pembangunan nasional di negara ini. Hal
ini terjadi karena sejak zaman kolonial pola pikir bangsa Indonesia
hanya dialihkan pada wilayah daratan (kontinental). Sehingga paradigma
ini terus menerus berlangsung sampai saat ini. Paradigma pengambil
kebijakan (eksekutif dan legislatif) masih sangat berorientasi daratan
(land based oriented) dibandingkan kelautan (marine based oriented).
“Selain itu pula Indonesia belum memiliki Kebijakan Kelautan Indonesia
dan Undang-Undang tentang Kelautan,” tandasnya.
Siaran Pers
No. 70/PDSI/HM.310/VI/2014
Jakarta, 16 Juni 2014
Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi
Pelaksana Tugas
Anang Noegroho
Narasumber :
1. Dedi H. Sutisna
Sekretaris Dewan Kelautan Indonesia
2. Anang Noegroho
Plt. Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi
Pusat Data Statistik dan Informasi
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Gedung Mina Bahari I lantai 3A
JL. Medan Merdeka Timur No.16
Jakarta Pusat 10110
Telp. (021) 3519070 ext. 7440
Fax. (021) 3519133
Tidak ada komentar:
Posting Komentar